Seyogyanya,
pergantian tahun dimaknai tidak dalam arti pergantian angka pada
kalender semata sehingga seolah perayaan tahun baru adalah perayaan
pergantian kalender atau almanac semata. Malah mungkin sebagian banyak
orang yang merayakan pergantian tahun tersebut justru tidak memahami
makna dari bergantinya tahun tersebut. Padahal kalau kita mau sedikit
meluangkan waktu sejenak maka orang akan takut menghadapi pergantian
tahun.
Dalam
pergantian tahun, sebenarnya terkandung berbagai makna yang dalam bagi
orang-orang yang mau merenungkannya. Pergantian tahun yang terjadi
berarti berkurangnya jatah hidup kita di dunia ini. kalau kita
merenung, bukanlah perayaan yang harus dilakukan menjelang pergantian
tahun namun justru rasa syukur karena kita telah diberi amanat untuk
masih bisa merasakan tahun lalu dan kekhawatiran tahun ini adalah tahun
terakhir kita hidup di dunia ini. masa lalu bukanlah sesuatu yang harus
dirayakan dengan besar-besaran namun justru harus dimaknai sebagai
media introspeksi diri.
Malam
tahun baru selayaknya setiap orang berhenti beraktifitas dan kemudian
menyendiri untuk menakar dan menimbang lalu melakukan evaluasi sejauh
mana kita memaknai kehidupan yang telah lalu tersebut. Renungan ini
penting supaya setiap tahun yang kita lewati memiliki makna dan arti
bagi setiap pribadi dan orang lain. Dinamika hidup yang cepat dan
mobilitas yang tinggi sudah sangat mengikis nilai-nilai kemanusiaan kita
selama ini. Target hidup, ambisi yang tersembunyi dan nampak, system
dunia kerja yang mekanistik, tujuan hidup yang berorientasi fisik dan
jasmaniah telah sangat jauh melemparkan manusia dari hakekat tujuan
keberadaannya di muka bumi ini. jangankan untuk memaknai eksistensinya
sendiri, bahkan sekedar untuk menikmati indah dunia itu sendiri sudah
mulai lupa.
Disaat
bekerja, manusia sudah bukan lagi sebagai makhluk yang sedang
mengaktualisasikan dirinya untuk memberikan manfaat kepada diri dan
orang lain, namun telah berubah menjadi mesin dari sebuah mesin
kapitalisme yang tujuannya hanya untuk mencapai keuntungan dan upah
semata. Hubungan inter dan antar personal telah berubah menjadi
hubungan untung rugi atau membawa manfaat atau tidak. Seorang atasan
memandang bawahannya sebagai sekrup dari mesin produksi yang bisa
disimpan, diganti atau bahkan dibuang apabila sudah tidak lagi
memberikan laba yang berarti. Grafik dan statistic dari neraca
perusahaan menjadi sarana dan masukan dalam menilai arti sebuah makhluk
bernama manusia. Seorang bawahan memandang atasan tidak lebih dari
tuhan-tuhan kecil yang dinilai sangat menentukan kehidupannya. Untuk
mendapatkan restu dan kepastian hidupnya, mereka rela menjadi hamba
sahaya, budak bahkan tidak lebih dari alas kaki atasan demi jaminan
pemenuhan kebutuhan dasar semata.
Di
dalam keluarga, anggota keluarga menjadi orang yang asing satu sama
lain karena sudah mulai terkotak oleh peran dan tanggung jawab yang
dipisahkan secara menejerial. Rumah tangga pun tidak lebih dari
perusahaan kecil yang melulu bicara dan menghitung jumlah pendapatan dan
pengeluaran. Surplus, balance dan deficit menjadi alat ukur
kebahagaiaan dan kesejahteraan. Ketika suami mampu menjalankan perannya
sebagai sumber pendapatan utama, isteri berperan sebagai pengelola
keuangan dan anak-anak tidak lebih dari anak kecil yang harus menjadikan
impian orang tuanya terwujud. Yang paling menyedihkan adalah
terkikisnya hubungan anggota keluarga sebagai hubungan pertalian darah
dan berganti menjadi hubungan yang dibalut dan diselubungi oleh hubungan
kewajiban semata. Seorang ayah merasa telah menunaikan kewajibannya
kepada anak isterinya ketika sudan merasa mampu memenuhi kebutuhan dari
aspek ekonomi dan menyerahkan kebutuhan lainnya kepada mereka
masing-masing untuk mencarinya. Atau seorang ibu merasa telah penuh
memangkul kewajibannya ketika berhasil melahirkan dan member mereka
makanan dan pakaian. Sementara anak merasa telah menunaikan
kewajibannya ketika sudah mentaati orang tua.
Begitu
juga dalam menjalani hidup. Manusia sudah mulai lupa dengan makna
hidup itu sendiri. Sebenarnya, pergantian tahun adalah sarana untuk
kembali menata hidup. Mungkin istilah ini agak sulit dipahami, namun
yang jelas benarkah kita selama ini telah melewati hidup ini dengan
benar. Indikatornya sederhana, bahagiakah kita selama ini? atau
mungkin untuk mendefinisikan kebahagiaan itu sendiri kita sudah lupa!
Terserah
orang mau menafsirkan arti bahagia, namun yang jelas tentunya kita
berharap kebahagiaan itu benar-benar dinikmati dengan penuh kesadaran.
Hal itu penting karena manusia sudah sedemikian dalam masuk ke dalam
sebuah mekanisme kerja laksana mesin, maka moment tahun baru sudah
selayaknya dan seharusnya dijadikan waktu untuk berhenti sejenak dan
melakukan refleksi diri apakah hidup kita sudah benar dalam jalur yang
kita tetapkan sejak awal. Contohnya adalah dalam memaknai kembali arti
bekerja, berkeluarga dan memahami hidup dalam kesadaran penuh.
Sudahkah
kita menempatkan kerja sebagai media aktualisasi diri dalam pergaulan
social sehingga kita memandang kerja tidak semata bergerak dan
digerakkan oleh keuntungan dan upah semata. Bekerja adalah menempatkan
manusia pada proses untuk memberikan manfaat tidak saja kepada diri,
namun juga kepada orang lain apakah itu isteri dan anak, keluarga,
masyarakat sekitar atau bahkan kepada kemanusiaan itu sendiri.
Bekerja/berusaha yang dilandasi oleh hubungan kemanusiaan mungkin terasa
sangat naïf dan sulit dilakukan dalam kerangka masyarakat yang
dipisahkan oleh pembagian kerja, system hierarki dan kepemilikan modal.
Mungkin
saatnya kini kita memulai sebuah relasi kerja yang lebih menekankan
hubungan kemanusiaan dimana kerja dan usaha berputar dan berpusat pada
pemaknaan “ibadah” karena sehebat apapun kita meraih keuntungan, toh
pada akhirnya tidak akan pernah kita nikmati disaat kita mati. Dan
pemaknaan arti bekerja dan usaha justru ketika lingkungan kita bisa
merasakan manfaat dari keberadaan kita melalui karya nyata kita baik
berupa barang maupun jasa. Bekerja bukan semata upaya memenuhi
kebutuhan dasar manusia, nmun juga sebagai proses pencarian makna hidup
itu sendiri.
Begitu
juga dalam ikatan keluarga. Keluarga bukanlah sebuah hubungan yang
hanya dilandasi ikatan kewajiban, namun lebih dari itu adalah sebuah
ikatan emosi dan perasaan. Sebuah ikatan sacral yang telah disepakati
tidak hanya oleh dua individu tapi oleh dua “dunia” yang berbeda.
Sebuah penyatuan dari dua jiwa yang memiliki karakter dan perbedaan pada
setiap pori-pori tubuhnya. Dua ruh yang menyatu dalam ikatan
pernikahan akan menjadi nyata ketika lahir seorang anak.
Anak
bukan semata satu individu yang terlahir dari sebuah ketidaksengajaan
atau takdir semata. Anak adalah sebuah bukti dari ikatan yang dibuat
dalam balutan kasih sayang. Seharusnya dan selayaknya, anak menjadi
muara sekaligus hulu dari makna keberadaan kita sebagai manusia.
Anak
tidak semata individu yang terpisah dari orang tua, sehingga tidaklah
layak orang tua hanya berbicara masalah kewajiban anak dan hak orang
tua, namun juga harus bicara hak anak dan kewajiban orang tua. Dan
itupun bukan selalu dalam konteks ekonomi dan biologis, namun yang
sering dilupakan adalah factor afeksi, kasih sayang, perhatian, belaian
dan pujian serta arahanlangsung dari orang tua sebagai “sekolah” pertama
anak dalam bersosialisasi.
Oleh
karena itu, marilah kita jadikan moment tahun baru menjadi saat yang
tepat untuk melakukan tata ulang kehidupan kita menuju kea rah yang
lebih baik.