Lanjutan....
Para ulama menyebutkan bahwa rukun syukur ada tiga, yaitu i’tiraaf (mengakui), tahaddust (menyebutkan), dan Thaat.
Para ulama menyebutkan bahwa rukun syukur ada tiga, yaitu i’tiraaf (mengakui), tahaddust (menyebutkan), dan Thaat.
1.Al-I’tiraaf
Pengakuan bahwa segala nikmat dari Allah adalah suatu prinsip yang
sangat penting, karena sikap ini muncul dari ketawadhuan seseorang.
Sebaliknya jika seseorang tidak mengakui nikmat itu bersumber dari
Allah, maka merekalah orang-orang takabur. Tiada daya dan kekuatan
kecuali bersumber dari Allah saja.
“Hai manusia, kamulah yang berkehendak kepada Allah; dan Allah dialah
yang Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji.” (Fathir:
15)
Dalam kehidupan modern sekarang ini, orang-orang sekular menyandarkan
segala sesuatunya pada kemampuan dirinya dan mereka sangat menyakini
bahwa kemampuannya dapat menyelesaikan segala problem hidup. Mereka
sangat bangga terhadap capaian yang telah diraih dari peradaban dunia,
seolah-olah itu adalah hasil kehebatan ilmu dan keahlian mereka. Pola
pikir ini sama dengan pola pikir para pendahulu mereka seperti Qarun dan
sejenisnya.
Qarun berkata: “Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena
ilmu yang ada padaku”. dan Apakah ia tidak mengetahui, bahwasanya Allah
sungguh telah membinasakan umat-umat sebelumnya yang lebih kuat
daripadanya, dan lebih banyak mengumpulkan harta? dan tidaklah perlu
ditanya kepada orang-orang yang berdosa itu, tentang dosa-dosa mereka.
(Al-Qashash: 78)
Dalam konteks manhaj Islam, pola pikir seperti inilah yang menjadi
sebab utama masalah dan problematika yang menimpa umat manusia sekarang
ini. Kekayaan yang melimpah ruah di belahan dunia Barat hanya dijadikan
sarana pemuas syahwat, sementara dunia Islam yang menjadi wilayah
jajahannya dibuat miskin, tenderita, dan terbelakang. Sedangkan umat
Islam dan pemerintahan di negeri muslim yang mengikuti pola hidup barat
kondisi kerusakannya hampir sama dengan dunia Barat tersebut, bahkan
mungkin lebih parah lagi.
I’tiraaf adalah suatu bentuk pengakuan yang tulus dari orang-orang
beriman bahwa Allah itu ada, berkehendak dan kekuasaannya meliputi
langit dan bumi. Semua makhluk Allah tidak ada yang dapat lepas dari
iradah (kehendak) dan qudrah (kekuasaan) Allah.
2.At-Tahadduts
“Dan terhadap nikmat Tuhanmu, Maka hendaklah kamu siarkan.” (Ad-Duhaa: 11)
Abi Nadhrah berkata, “Dahulu umat Islam melihat bahwa di antara
bentuk syukur nikmat yaitu mengucapkannya.” Rasul saw. bersabda, “Tidak
bersyukur kepada Allah orang yang tidak berterima kasih pada manusia.”
(Abu Dawud dan At-Tirmidzi). Berkata Al-Hasan bin Ali, “Jika Anda
melakukan (mendapatkan) kebaikan, maka ceritakan kepada temanmu.”
Berkata Ibnu Ishak, “Sesuatu yang datang padamu dari Allah berupa
kenikmatan dan kemuliaan kenabian, maka ceritakan dan dakwahkan kepada
manusia.”
Orang beriman minimal mengucapkan hamdalah (alhamdulillah) ketika
mendapatkan kenikmatan sebagai refleksi syukur kepada Allah. Demikianlah
betapa pentingnya hamdalah, dan Allah mengajari pada hamba-Nya dengan
mengulang-ulang ungkapan alhamdulillah dalam Al-Qur’an dalam mengawali
ayat-ayat-Nya.
Sedangkan ungkapan minimal yang harus diucapkan orang beriman, ketika
mendapatkan kebaikan melalui perantaraan manusia, mengucapkan pujian
dan do’a, misalnya, jazaakallah khairan (semoga Allah membalas
kebaikanmu). Disebutkan dalam hadits Bukhari dan Muslim dari Anas r.a.,
bahwa kaum Muhajirin berkata pada Rasulullah saw., ”Wahai Rasulullah
saw., orang Anshar memborong semua pahala.” Rasul saw. bersabda, ”Tidak,
selagi kamu mendoakan dan memuji kebaikan mereka.”
Dan ucapan syukur yang paling puncak ketika kita menyampaikan
kenikmatan yang paling puncak yaitu Islam, dengan cara mendakwahkan
kepada manusia.
3. At-Tha’ah
Allah menyebutkan bahwa para nabi adalah hamba-hamba Allah yang
paling bersyukur dengan melaksanakan puncak ketaatan dan pengorbanan.
Dan contoh-contoh tersebut sangat tampak pada lima rasul utama: Nabi Nuh
a.s., Nabi Ibrahim a.s., Nabi Musa a.s., Nabi Isa a.s., dan Nabi
Muhammad saw. Allah swt. menyebutkan tentang Nuh a.s. “Sesungguhnya dia
(Nuh a.s.) adalah hamba (Allah) yang banyak bersyukur.” (Al-Israa: 3)
Dan lihatlah bagaimana Aisyah r.a. menceritakan tentang ketaatan
Rasulullah saw. Suatu saat Rasulullah saw. melakukan shalat malam
sehingga kakinya terpecah-pecah. Berkata Aisyah r.a., ”Engkau melakukan
ini, padahal Allah telah mengampuni dosa yang lalu dan yang akan
datang.” Berkata Rasulullah saw., “Tidak bolehkah aku menjadi hamba yang
bersyukur?“ (Muslim)
Dalam riwayat lain disebutkan dari Atha, berkata, aku bertanya pada
‘Aisyah, “Ceritakan padaku sesuatu yang paling engkau kagumi yang engkau
lihat dari Rasulullah saw.” Aisyah berkata, “Adakah urusannya yang
tidak mengagumkan? Pada suatu malam beliau mendatangiku dan berkata,
”Biarkanlah aku menyembah Rabbku.” Maka beliau bangkit berwudhu dan
shalat. Beliau menangis sampai airmatanya mengalir di dadanya, kemudian
ruku dan menangis, kemudian sujud dan menangis, kemudian mengangkat
mukanya dan menangis. Dan beliau tetap dalam kondisi seperti itu sampai
Bilal mengumandangkan adzan salta.” Aku berkata, “Wahai Rasulullah saw.,
apa yang membuat engkau menangis padahal Allah sudah mengampuni dosa
yang lalu dan yang akan datang?” Rasul saw. berkata, “Tidak bolehkah aku
menjadi hamba Allah yang bersyukur?” (Ibnul Mundzir, Ibnu Hibban, Ibnu
Mardawaih, dan Ibnu ‘Asakir).
Buah syukur Nikmat
Refleksi syukur yang dilakukan dengan optimal akan menghasilkan
tambahan nikmat dari Allah (ziyadatun ni’mah), dalam bentuk keimanan
yang bertambah (ziyadatul iman), ilmu yang bertambah, (ziyadatul ‘ilmi),
amal yang bertambah (ziyadatul amal), rezeki yang bertambah (ziyadatur
rizki) dan akhirnya mendapatkan puncak dari kenikmatan yaitu dimasukan
ke dalam surga dan dibebaskan dari api neraka. Demikianlah janji Allah
yang disebutkan dalam surat Ibrahim ayat 7,
“Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan: “Sesungguhnya jika
kamu bersyukur, pasti kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika
kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.”
Ibrahim ayat 7,
Kisah Syukur Dan Ingkar Nikmat
Di riwayatkan oleh Al Bukhari dan Muslim, hadits ini juga disebutkan
oleh Al Imam An Nawawi dalam Riyadhush Shalihin hadits no. 65). Nabi
shalallahu ‘alaihi wasallam pernah menceritakan :
“Ada tiga orang dari Bani Israil menderita penyakit belang, botak,
dan buta. Allah hendak menguji mereka, maka Allah pun utus kepada mereka
Malaikat. Malaikat itu datang kepada si belang dan bertanya: Apakah
yang paling kamu dambakan? Si belang menjawab: Saya mendambakan paras
yang tampan dan kulit yang bagus serta hilang penyakit yang menjadikan
orang-orang jijik kepadaku. Malaikat itu pun mengusap si belang, maka
hilanglah penyakit yang menjijikkannya itu, bahkan ia diberi paras yang
tampan. Malaikat itu bertanya lagi: Harta apakah yang paling kamu
senangi? Si belang menjawab: Unta. Kemudian ia diberi unta yang bunting
sepuluh bulan. Dan malaikat tadi berkata: Semoga Allah memberi barakah
atas apa yang kamu dapatkan ini.
Kemudian Malaikat itu datang kepada si botak dan bertanya: Apakah
yang paling kamu dambakan? Si botak menjawab: Saya mendambakan rambut
yang bagus dan hilangnya penyakit yang menjadikan orang-orang jijik
kepadaku ini. Malaikat itu pun mengusap si botak, maka hilanglah
penyakitnya itu, serta diberilah ia rambut yang bagus. Malaikat itu
bertanya lagi: Harta apakah yang paling kamu senangi? Si botak menjawab:
Sapi. Kemudian ia diberi sapi yang bunting. Dan malaikat tadi berkata:
Semoga Allah memberi barakah atas apa yang kamu dapatkan ini.
Kemudian Malaikat itu datang kepada si buta dan bertanya: Apakah yang
paling kamu dambakan? Si buta menjawab: Saya mendambakan agar Allah
mengembalikan penglihatanku sehingga aku dapat melihat. Malaikat itu pun
mengusap si buta, dan Allah mengembalikan penglihatannya. Malaikat itu
bertanya lagi: Harta apakah yang paling kamu senangi? Si buta menjawab:
Kambing. Kemudian ia diberi kambing yang bunting. Selang beberapa waktu
kemudian, unta, sapi, dan kambing tersebut berkembang biak yang akhirnya
si belang tadi memiliki unta yang memenuhi suatu lembah, demikian juga
dengan si botak dan si buta, masing-masing memiliki sapi dan kambing
yang memenuhi suatu lembah.
Kemudian Malaikat tadi datang kepada si belang dengan menyerupai
orang yang berpenyakit belang seperti keadaan si belang waktu itu, dan
berkata: Saya adalah orang miskin yang kehabisan bekal di tengah
perjalanan. Sampai hari ini tidak ada yang mau memberi pertolongan
kecuali Allah kemudian engkau. Saya meminta kepadamu -dengan menyebut
Dzat Yang telah memberi engkau paras yang tampan dan kulit yang bagus
serta harta kekayaan- seekor unta untuk bekal dalam perjalanan saya. Si
belang berkata: Hak-hak yang harus saya berikan masih banyak.
Malaikat itu berkata: Kalau tidak salah saya sudah mengenalimu.
Bukankah kamu dahulu orang yang berpenyakit belang sehingga orang lain
merasa jijik kepadamu? Bukankah kamu dahulu orang yang miskin kemudian
Allah memberi kekayaan kepadamu? Si belang berkata: Harta kekayaanku ini
adalah warisan dari nenek moyangku. Malaikat itu berkata: Jika kamu
berdusta, semoga Allah mengembalikanmu seperti keadaan semula.
Kemudian Malaikat itu datang kepada si botak seperti keadaan si botak
waktu itu. Dan berkata kepadanya seperti apa yang dikatakan kepada si
belang. Si botak juga menjawab seperti jawaban si belang tadi. Kemudian
Malaikat tadi berkata: Jika kamu berdusta, semoga Allah ?
mengembalikanmu seperti keadaan semula.
Kemudian Malaikat tadi mendatangi si buta dengan menyerupai orang
buta seperti keadaan si buta waktu itu dan berkata: Saya adalah orang
miskin yang kehabisan bekal di tengah perjalanan. Sampai hari ini tidak
ada yang mau memberi pertolongan kecuali Allah ? kemudian engkau. Saya
meminta kepadamu -dengan menyebut Dzat Yang telah mengembalikan
penglihatanmu- seekor kambing untuk bekal dalam perjalanan saya. Si buta
berkata: Saya dahulu adalah orang yang buta kemudian Allah
mengembalikan penglihatan saya. Maka ambillah apa yang kamu inginkan dan
tinggalkanlah apa yang tidak kamu senangi. Demi Allah, sekarang saya
tidak akan memberatkan sesuatu kepadamu yang kamu ambil karena Allah
Yang Maha Mulia. Malaikat itu berkata: Peliharalah harta kekayaanmu,
sebenarnya kamu itu diuji dan Allah telah ridha kepadamu dan murka
kepada kedua temanmu (si belang dan si botak).”
Di dalam sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam yang mulia tersebut
banyak terkandung faedah dan pelajaran beharga bagi kaum muslimin.
Tidaklah Rasulullah menceritakan kisah kejadian umat terdahulu melainkan
untuk menjadi pelajaran bagi umat yang datang setelahnya. “Sesungguhnya
pada kisah-kisah mereka itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang
mempunyai akal.” (Yusuf: 111)
dikutip : http://www.dakta.com/getar-kalam/31663/syukur-nikmat-dan-nikmat-syukur.html/