Kamis, 26 Juni 2014

Pagar Diri Jelang Ramadhan Melalui Tradisi Ngikis


Situs Wisata Budaya CIUNG WANARA
Menjelang bulan suci Ramadan, ada tradisi unik yang dilakukan warga sekitar situs cagar budaya Karangkamulyan di Desa Karangkamulyan Kecamatan Cijeugjing Kabupaten Ciamis, menggelar upacara adat Ngikis. Tradisi yang diceritakan sudah berlangung sejak abad ke-17 itu, rutin digelar masyarakat, tokoh adat, pemerintah dan pelaku pariwisata setempat. Ratusan warga Karangkamulyan dan sekitarnya berbondong-bondong mengikuti tradisi budaya ngikis. Yaitu, tradisi budaya yang diselenggarakan setiap Senin atau Kamis terakhir sebelum memasuki Bulan Suci Ramadhan. Puncak tradisi Ngikis yang jatuh pada Kamis (26/6) ditandai dengan pengecatan pagar di kawasan Pancalikan, Situs Budaya Ciungwanara atau dikenal Objek Wisata Karangkamulyan.

Jika dibanding tahun sebelumnya, acara ngikis tahun ini terlihat lebih ramai. Jumlah pengunjung yang datang lebih banyak, begitu juga jajaran pejabat, Ketua Pemangku Adat Pajajaran, kasepuhan dan pelaku pariwisata lebih lengkap. Acara yang berlangsung sekitar pukul 09.00 WIB itu, diawali dengan penyambutan para pejabat, tokoh adat dan pelaku pariwisata.

Setelah dilakukan proses penyambutan terhadap Pejabat dan pemangku adat, rombongan memasuki kawasan Situs Budaya Ciungwanara menuju pangcalikan diikuti arak-arakan punggawa berpakaian lengkap mengenakan pakaian adat sunda sambil membawa jempana berisi makanan tumpeng. Ratusan warga yang datangpun langusng mengikuti iring-iringan membawa perbekalan makanan masing-masing yang sudah dipersiapkan sebelumnya dari rumah.

Arak-arakan Warga Membawa Jempana yang Berisi Nasi Tumpeng
Sesampai di Pancalikan, Situs Ciungwanara. Prosesi tradisi ngikis dimulai, setelah dilakukan pembacaan sejarah Galuh dan tradisi ngikis yang diakhiri dengan pembacaan do'a, sejumlah perwakilan adat, masyarakat dan pejabat secara bergantian melakukan simbolis pengecatan pagar. Selain itu, kegiatan rutin yang dilakukan adalah makan bersama, sebagai ajang mempererat tali silaturahmi. Dengan menggelar tikar atau bahkan duduk lesehan di tanah mereka menikmati tumpeng atau makanan lainnya yang sengaja dibawa dari rumah. Ketika makan bersama itu tidak sedikit di antara kelompok masyarakat yang berasal dari berbagai desa sekitar Karangkamulyan, saling bertukar makanan.

"Menurut saya, sekalipun harus berebutan dengan kera yang sesekali menghampiri makanan, suasanya saat unik dan ini mengesankan". Bahkan tidak sedikit masyarakat yang datang dari luar Desa Karangkamulyan, bahkan ada yang dari luar kota yang sengaja datang berwisata untuk mengetahui, menyaksikan dan ikut ambil bagian dalam tradisi ini. "Maklum, selain hari libur sekolah sekarang ini merupakan hari-hari terahir menjelang Ramadhan, jadi "...etang-etang liburan sakantenan munggahan...!!" tutur seorang warga dari Desa Bojongmengger yang tak mau disebutkan namanya itu.  

Ngikis, menurut penjelasan juru kunci ke sepuluh Karangkamulyan, Endan Sumarsana, secara harfiah adalah memagar. Pada masa lampau kegiatan ngikis lebih bersifat fisik, yakni ritual mengganti pagar bambu yang mengitari lokasi situs. Warga yang datang dari desa sekitar datang sembari membawa bambu. Selanjutnya bambu tersebut digunakan untuk mengganti pagar. Saat ini pemagaran hanya dilakukan secara simbolis. Pagar dipasang di lokasi pancalikan yang merupakan singgasana Prabu Galuh Ratu Pusaka Prabu Adi Mulia Sang Hyang Cipta Permana Adikusuma.

Tetapi seiring dengan berkembangnya pemahaman, lanjut Endan yang sudah 32 tahun menjadi juru kunci Karangkamulyan, "Ngikis merupakan upaya memagari diri dari berbagai nafsu jahat atau tidak baik, sehingga suci ketika memasuki bulan puasa. Menjelang puasa harus mampu memagari diri nafsu yang tidak baik. Misalnya nafsu sombong, iri, dengki, rakus dan 40 nafsu yang tidak baik lainnya. Jadi yang penting adalah makna yang tersirat," jelasnya.

Selain pancalikan, lokasi lain yang menjadi tempat yang dikunjungi adalah patimuan yang merupakan lokasi pertemuan antara Sungai Cimuntur dengan Sungai Citanduy, Cikahuripan yang jaraknya sekitar 500 meter dari pancalikan. Tempat tersebut merupakan sumur kuno yang tidak pernah kering. Bahkan bagi yang percaya, air sumur tersebut dipergunakan untuk membasuh wajah dapat membuat awet muda. 

Tidak ada komentar:

 
Top