Secara umun kehidupan semua manusia adalah sama, mereka hanya akan melewati
dua sisi hidup yang Allah Ta’ala pasangkan; bahagia dan bencana, mudah
dan sulit, suka dan duka. Kita pun sudah, sedang, dan akan terus
merasakan keduanya silih berganti. Kehidupan ini bagaikan roda yang
berputar, kadang posisi kita di atas dan kadang di bawah, semua akan
mendapatkan gilirannya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَتِلْكَ الأيَّامُ نُدَاوِلُهَا بَيْنَ النَّاسِ
“Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu Kami pergilirkan diantara manusia ..” (QS. Ali Imran (3): 140)
Demikianlah
hidup kita. Namun, tidak sedikit manusia yang tidak terima kenyataan
ini. Keinginan mereka adalah semua hari adalah bahagia, semua cuaca
adalah cerah, semua tanah adalah subur, semua air adalah jernih. Tidak
demikian. Manusia semacam ini akan terombang ambing oleh impian dan
dipenjara oleh fatamorgana yang hanya dapat berubah jika mereka mau
menerima kenyataan hidup dan siap mengarunginya.
Ada pun bagi seorang beriman, mereka akan menyikapi dua sisi hidup ini secara ikhlas dan penuh ridha. Mereka meyakini, baik atau buruk dari apa yang dialami manusia, pastilah memiliki pelajaran berharga dan rahasia manis yang dapat diketahui cepat atau lambat. Tidak ada yang sia-sia.
Ada pun bagi seorang beriman, mereka akan menyikapi dua sisi hidup ini secara ikhlas dan penuh ridha. Mereka meyakini, baik atau buruk dari apa yang dialami manusia, pastilah memiliki pelajaran berharga dan rahasia manis yang dapat diketahui cepat atau lambat. Tidak ada yang sia-sia.
Allah Ta’ala menceritakan perkataan orang-orang yang mendalam ilmunya (Ulil Albab): رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلا
“Tuhan kami, tidaklah apa yang Engkau ciptakan ini sia-sia.” (QS. Ali Imran (3): 190)
Ya,
semua keadaan pasti membawa manfaat untuk kita, sebab Allah Ta’ala
tidaklah mengadakannya untuk main-main dan kesia-siaan. Oleh karena
itu, sikap terbaik terhadap bencana adalah bersabar, sikap terbaik
terhadap kebahagaiaan adalah bersyukur. Inilah cara yang ditempuh orang
beriman, sikap yang diambil para shalihin (orang-orang shalih), dan
jawaban yang diberikan para fuqaha (orang-orang yang faham agama).
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam juga telah menggambarkan:
عَجَباً
لأمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ لَهُ خَيْرٌ، وَلَيْسَ ذَلِكَ
لأِحَدٍ إِلاَّ للْمُؤْمِن: إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ
خَيْراً لَهُ، وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خيْراً لَهُ
“Sungguh
mengagumkan melihat urusan orang mukmin, baginya, semua masalah adalah
baik. Dan, sikap yang demikian tidaklah terjadi kecuali oleh orang
beriman. Jika dia mendapatkan kebahagiaan dia bersyukur dan itu adalah
hal yang baik baginya, dan jika dia mendapatkan keburukan dia bersabar,
dan itu adalah hal baik baginya.” (HR. Muslim No. 2999, Ibnu Hibban No.
2896)
Syukur Itu Manis
Manusia
yang di dadanya dipenuhi rasa syukur adalah manusia kaya sebenarnya.
Hatinya lapang dan jiwanya bersih dari angan-angan kosong dan impian
yang melemahkan gairah hidup. Tidak ada waktu baginya memikirkan
apa-apa yang dimiliki orang lain, tetapi dia sibuk dengan berbagai
nikmat yang Allah Ta’ala yang tak terhingga yang dia dapatkan dariNya.
Sehingga lahirlah jiwa yang kaya, dan jiwa yang kaya itulah kaya yang
hakiki.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
ليس الغنى عن كثرة العرض، ولكنَّ الغنى غنى النفس
“Bukanlah
kekayaan dengan banyaknya harta benda, tetapi kekayaan sebenarnya
adalah yang kaya jiwanya.” (HR. Bukhari No. 6081, Muslim No. 1051, At
Tirmidzi No. 2373, Ibnu Majah No. 1386, Ibnu Hibban No. 679, Ahmad No.
7316, Abu Ya’la No. 3079, 6583, Ishaq bin Rahawaih dalam Musnadnya
No.320)
Jiwa
yang kaya itulah raja sebenarnya, seorang raja tidak lagi membutuhkan
apa-apa yang ada pada orang lain, begitu pula hamba Allah Ta’ala yang
pandai bersyukur, dia merasa cukup dan puas, sehingga mata dan wajahnya
tidak pernah menoleh kepada apa yang bukan hak dan miliknya.
Seorang penyair berkata:
اذا كنت ذا قلب قنوع فأنت و مالك الدنيا سواء
“Jika engkau memiliki hati yang puas (qanuu’), maka engkau dan rajanya dunia adalah sama saja!”
Seorang
hamba bersyukur bukan hanya di bibir dengan ucapan Alhamdulillah,
tetapi dia tampakkan dalam sikap hidup; yaitu menjaga dan memanfaatkan
sebaik-baiknya nikmat yang Allah Ta’ala berikan kepadanya dengan cara
dan tujuan yang baik pula, tidak iri dan dengki terhadap anugerah yang
Allah Ta’ala titipkan kepada orang lain, serta adanya perbaikan dalam
kualitas hubungan dengan Allah Ta’ala (ibadah) dan hubungan dengan
manusia (sosial).
Percayalah,
sikap syukur tidak akan memberikan apa-apa bagi pelakunya kecuali hanya
kebaikan dan kebaikan. Dia akan dicintai manusia, sebab kehadirannya
bukan ancaman bagi orang lain. Dia akan dicintai Allah Ta’ala, sebab
dia tidak kufur atas nikmatNya, bahkan Allah Ta’ala akan menambah
nikmat untuk hamba-hambaNya yang bersyukur.
Allah Ta’ala berfirman:
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لأزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ
“Dan
(ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; “Sesungguhnya jika kamu
bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu
mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (QS.
Ibrahim (14): 7)
Seorang ulama berkomentar tentang ayat ini:
Ingatkah
ketika Tuhanmu bersumpah dengan keagunganNya, kekuasaanNya, dan
kemahabesaranNya, jika kalian benar-benar mensyukuri nikmatku atas
kalian, maka Aku akan benar-benar tambahkan nikmat itu untuk kalian,
dan jika kalian kufur terhadap nikmat itu dengan menutup-nutupinya dan
mengingkarinya, maka nikmat itu akan diambilNya kembali dan Dia akan
memberikan hukuman. (Imam Ibnu Katsir, Tafsir Al Quran Al ‘Azhim,
4/479. Dar Ath Thayyibah Lin Nasyr wat Tauzi’)
Beginilah Cara Mereka Bersyukur
‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha menceritakan tentang ibadahnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:
أَنَّ
النَّبِيَّ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم كَان يقُومُ مِنَ اللَّيْلِ
حتَّى تتَفطَرَ قَدمَاهُ، فَقُلْتُ لَهُ، لِمْ تصنعُ هذا يا رسولَ
اللَّهِ، وقدْ غفَرَ اللَّه لَكَ مَا تقدَّمَ مِنْ ذَنبِكَ وما تأخَّرَ؟
قال: “أَفَلاَ أُحِبُّ أَنْ أكُونَ عبْداً شكُوراً؟
Bahwa
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berdiri pada shalat malam (tahajud)
sampai bengkak kedua kakinya, lalu aku berkata kepadanya: “Kenapa kau
lakukan ini wahai Rasulullah? Padahal Allah telah mengampunimu baik
dosa yang lalu dan yang akan datang?” Beliau menjawab: “Tidakkah aku
suka jika aku menjadi hamba yang bersyukur?” (HR. Bukhari No. 1078,
Muslim No. 2819, Ibnu Majah No. 1419, At Tirmidzi No. 412, An Nasa’i
No. 1644, Ibnu Khuzaimah No. 1182, 1184)
Lihat!
Walaupun Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sudah diampuni semua
dosa yang lalu dan akan datang, dia tetap beribadah, bahkan lebih kuat
lagi. Tidak justru ‘mentang-mentang’ sudah diampuni lalu menghabiskan
waktu dengan senang-senang semata.
Imam
Ibnu Qudamah Rahimahullah menceritakan tentang seorang ulama nan
shalih, Imam Al Fudhail bin ‘Iyadh. Suatu malam Beliau sedang shalat
tahajud, ternyata tanpa sepengetahuannya anaknya yang laki-laki
mengikutinya jadi makmum, sampai dia membaca satu ayat yang memilukan
hati anak itu, lalu anak itu terjatuh dan wafat.
Keesokan
harinya ramai manusia bertakziah ke rumahnya, sebagai rasa ikut
berduka. Tetapi, Imam Al Fudhail bin ‘Iyadh justru mengeluarkan
perkataan yang mengherankan bagi manusia saat itu. Dia tidak bersedih,
tak ad air mata, justru senyumanlah yang ada darinya.
“Jangan
kalian kira aku sedang bersedih, justru aku bergembira dengan wafatnya
anakku ini, karena dia wafat dalam keadaan husnul khatimah.”
Ya,
beliau bukan sedang berduka cita dan bersabar, tetapi sedang bergembira
dan bersyukur karena anaknya wafat dalam keadaan yang sangat bagus
yakni ketika shalat tahajud. Sungguh jika bukan karena tawakal yang
mendalam, sikap seperti Imam Al Fudhail bin ‘Iyadh adalah sikap yang
amat sulit dilakukan manusia zaman sekarang.
Sabar Itu Indah
Imam
Ahmad bin Hambal Rahimahullah pernah mengatakan bahwa di surga hanya
ada dua kelompok manusia; manusia yang bersyukur dan manusia yang
bersabar.
Orang-orang
sukses, dunia dan akhirat, salah satu kuncinya oleh kesabaran. Lihatlah
betapa sabarnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan para
sahabatnya dalam mendakwahkan Islam di Jazirah Arab. Walau tantangan,
ancaman, pengusiran, bahkan percobaan pembunuhan sudah berkali-kali
dirasakannya ketika tiga belas tahun dakwah di Mekkah, akhirnya Allah
Ta’ala menangkan dakwah Islam karena buah kesabaran Beliau dan para
sahabatnya.
Sabar
memang berat. Oleh karena itu, Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyah memasukkan
sabar dalam menuntut ilmu, sabar dalam menghafalkan ilmu, dan sabar
dalam menyampaikan ilmu adalah termasuk jihad fisabilillah. Maka, dari
sini kita bisa mengetahui bahwa sabar bukanlah kelemahan, justru sabar
adalah kekuatan, sabar bukan kelesuan tetapi dia adalah gairah hidup,
sabar bukan kecengengan tetapi dia adalah ketegaran, sabar bukanlah
pesimis tetapi dia adalah optimis, dan sabar bukanlah diam membisu
tetapi dia adalah pantang menyerah. Dan, orang sabar bukan sekedar yang
tidak menangis ketika mendapatkan musibah, bukan pula sekedar tidak
mengeluh ketika tertimpa kesulitan, sebab itu barulah tahapan awal
kesabaran.
Allah Ta’ala berfirman:
وَكَأَيِّنْ
مِنْ نَبِيٍّ قَاتَلَ مَعَهُ رِبِّيُّونَ كَثِيرٌ فَمَا وَهَنُوا لِمَا
أَصَابَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَمَا ضَعُفُوا وَمَا اسْتَكَانُوا
وَاللَّهُ يُحِبُّ الصَّابِرِينَ
`Dan
berapa banyaknya nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar
dari pengikut (nya) yang bertakwa. Mereka tidak menjadi lemah karena
bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak
(pula) menyerah (kepada musuh). Allah menyukai orang-orang yang sabar.
(QS. Ali Imran (3): 146)
Dibalik Sabar Ada Kemenangan
Ini
adalah janji Allah Ta’ala kepada hamba-hambaNya yang bersabar. Dan,
janjiNya adalah benar. Namun jangan lupa, sabar juga bukan kekuatan
tanpa perhitungan, sabar bukan ketegaran tanpa tujuan, sabar bukan
pesimis tanpa arahan, sabar bukanlah gerak pantang menyerah namun tanpa
pemikiran yang matang. Tidak demikian. Tetapi sabar adalah berpadunya
kekuatan dan perhitungan, ketegaran dan tujuan, optimis dan arahan,
gerak pantang menyerah dan pemikiran matang, maka tunggulah kemenangan
yang Allah Ta’ala janjikan.
Perhatikan firman Allah Ta’ala berikut:
يَا
أَيُّهَا النَّبِيُّ حَرِّضِ الْمُؤْمِنِينَ عَلَى الْقِتَالِ إِنْ يَكُنْ
مِنْكُمْ عِشْرُونَ صَابِرُونَ يَغْلِبُوا مِائَتَيْنِ وَإِنْ يَكُنْ
مِنْكُمْ مِائَةٌ يَغْلِبُوا أَلْفًا مِنَ الَّذِينَ كَفَرُوا بِأَنَّهُمْ
قَوْمٌ لا يَفْقَهُونَ (65) الآنَ خَفَّفَ اللَّهُ عَنْكُمْ وَعَلِمَ
أَنَّ فِيكُمْ ضَعْفًا فَإِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ مِائَةٌ صَابِرَةٌ
يَغْلِبُوا مِائَتَيْنِ وَإِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ أَلْفٌ يَغْلِبُوا
أَلْفَيْنِ بِإِذْنِ اللَّهِ وَاللَّهُ مَعَ الصَّابِرِينَ (66) }
Hai
Nabi, kobarkanlah semangat para mukmin untuk berperang. Jika ada dua
puluh orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat
mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang yang
sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan seribu dari
pada orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak
mengerti. Sekarang Allah telah meringankan kepadamu dan dia telah
mengetahui bahwa padamu ada kelemahan. Maka jika ada diantaramu seratus
orang yang sabar, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang
kafir; dan jika diantaramu ada seribu orang (yang sabar), niscaya
mereka akan dapat mengalahkan dua ribu orang, dengan seizin Allah. Dan
Allah beserta orang-orang yang sabar. (QS. Al Anfal (8): 65-66)
Maka, Maha Benar Allah ketika berfirman:
وَاسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلاةِ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلا عَلَى الْخَاشِعِينَ
Jadikanlah
sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu
sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu’. (QS. Al Baqarah
(2): 45)
Ya,
orang sabar akan menjadi pemenang, bagaimana mungkin mereka kalah
padahal Allah Ta’ala bersama mereka? Innallaha ma’ash shaabiriin
(sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar) …..
Beginilah Kesabaran Mereka
Nabi
Nuh ‘Alaihissalam menyebarkan dakwah tauhid dalam waktu 950 tahun,
walau dia tahu pengikutnya tidak akan banyak, namun dia tetap berjuang
tanpa putus asa.
“Dan
telah diwahyukan kepada Nuh bahwasanya tidak akan ada yang beriman di
antara kaumnya kecuali orang-orang yang telah beriman ( dari sebelumnya
) maka janganlah kamu putus asa karena apa yang mereka lakukan.” ( QS.
Huud : 36 )
Dari
ayat ini kita bisa tahu bahwa Nabi Nuh ‘Alaihissalam tidak akan banyak
pengikut, tetapi dia terus mendakwahkan agama tauhid tanpa putus asa
selama 950 tahun.
“Dan
sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, kemudian dia
tinggal di antara mereka selama 950 tahun …” ( QS. Al ’Ankabut : 14 )
Imam
Ahmad bin Hambal Rahimahullah mengalami penyiksaan yang amat memilukan
selama tiga periode kepempimpinan khalifah yang berbeda yakni khalifah
Al Makmun, Al Mu’tashim, dan Al Watsiq, demi mempertahankan aqidah yang
benar bahwa Al Quran adalah kalamullah (firman Allah), dan Al Quran
bukan makhluk Allah sebagaimana keyakinan kelompok menyimpang
Mu’tazilah. Namun, akhirnya pada Al Watsiq beliau dibebaskan, bahkan
khalifah ini mengakui kebenaran keyakinan Imam Ahmad bin Hambal dan
mendukung dakwahnya.
Imam
Ibnu Hajar Al ‘Asqalani Rahimahullah menyusun kitab Fathul Bari selama
25 tahun. Kitab yang memberikan penjelasan terhadap hadits-hadits yang
terdapat kitab Shahih Bukhari. Dan, kita ini dinilai sebagai kitab
terbaik dan terlengkap dalam bidangnya, khususnya dalam memberikan
penjelasan (syarah) terhadap Shahih Bukhari.
Masih banyak contoh-contoh kesabaran orang-orang besar dan sukses selain mereka.
Lalu, di manakah posisi kita di antara mereka?
Wallahu A’lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar