Ibnu Abbas meriwayatkan, bahwa suatu kali hujan turun di zaman Nabi
shallallahu alaihi wasallam. Lalu Nabi bersabda, ”Pagi ini, di antara
manusia ada yang bersyukur, namun ada juga sebagian yang kufur. Mereka
(yang bersyukur) berkata, ”Hujan ini adalah rahmat dari Allah.” Namun
sebagian lagi (yang kufur) berkata, ”Memang benar (hujan turun karena)
bintang ini dan bintang itu.” (HR Muslim)
Ada yang Syukur dan Ada yang Kufur
Meski kasus di atas terkait dengan hujan, namun kaidah ini berlaku
untuk segela jenis nikmat yang Allah turunkan. Untuk setiap karunia yang
Allah berikan, selalu menjadi ujian untuk memisahkan dua golongan,
golongan orang yang bersyukur, dan golongan orang yang kufur.
Dikatakan kufur atas nikmat Allah, karena mereka mengalamatkan asal
nikmat dan rejeki yang disandangnya kepada selain Allah. Bahwa rejeki
datang karena kerja kerasnya, harta berlimpah karena kepiawaian dalam
bisnisnya, atau karena semata-mata kondisi ekonomi sedang
bagus-bagusnya. Apalagi jika mengalamatkan rejeki diperoleh berkat
jimat, pertolongan leluhur, mendatangi dukun atau sesaji yang
dilakukannya.
Sebagian lagi yang kurang, atau bahkan tidak bersyukur, mereka tidak
peka atas nikmat yang tertuju kepadanya. Mereka tidak menyadari tiap
nikmat yang melekat pada dirinya. Karena fokus pikirannya hanya tertuju
pada apa-apa yang belum dimiliki.
Mereka baru sadar, ketika nikmat itu dicabut atau hilang dari
genggaman. Inilah karakter kebanyakan manusia sebagaimana yang
difirmankan Allah,
”Sesungguhnya manusia itu sangat ingkar, tidak berterima kasih kepada Rabbnya” (QS al-’Adiyaat 6)
Imam Hasan al-Bashri rahimahullah menyebutkan bahwa maksud
’lakanuud’ (sangat ingkar) adalah yang suka mengingat musibah, namun
melupakan nikmat.” Saat musibah datang, atau ada sesuatu yang hilang
darinya, maka seakan ia tak pernah memiliki apa-apa selain yang hilang
itu. Maka bagaimana Allah akan memberikan nikmat tambahan jika mereka
hanya memandang nikmat dengan sebelah mata? Bagaimana pula mereka akan
bahagia jika mereka tak mampu mendeteksi segala nikmat yang disandangya?
Begitulah siksa bagi orang yang kufur atas nikmat Allah di dunia,
sebelum nantinya merasakan pedihnya siksa di akhirat.
Ikat Nikmat dengan Syukur
Berbanding terbalik dengan kufur nikmat. Begitu indahnya nikmat saat
direspon dengan syukur. Sungguh kesyukuran itu bahkan lebih berharga
nilainya dari nikmat yang disyukuri. Karena ia akan melahirkan banyak
sekali buah dan faedah yang akan dirasakan nikmatnya dalam segala sisi,
baik di dunia maupun di akhirat. Tidaklah mengherankan, jika target
setan menggoda manusia dari segala arah adalah untuk menjauhkan manusia
dari kesyukuran, Iblis berjanji,
”Kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang
mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati
kebanyakan mereka bersyukur.” (QS al-A’raf 17)
Setan tidak ingin manusia mendapatkan faedah melimpah karena
bersyukur. Karena orang yang bersyukur tak hanya terhindar dari siksa
akhirat, tapi juga bisa mengenyam selaksa kebahagiaan di dunia.
Kebahagiaan akan terpancar di hati orang yang bersyukur. Tiada orang
yang lebih berbahagia dan lebih optimis dari orang yang bersyukur.
Syeikh Abdurrahman as-Sa’di menggambarkan kondisi hati orang yang
bersyukur, “Orang yang bersyukur adalah orang yang paling bersih
jiwanya, paling lapang dadanya, dan paling bahagia hatinya. Karena hati
dipenuhi oleh pujian terhadap-Nya, merasakan hadirnya setiap
nikmat-nikmat dari-Nya, dia pun bahagia lantaran bisa menikmati karunia
dari-Nya. Lisannya senantiasa basah dengan ungkapan syukur dan dzikir
kepada-Nya. Dan semua ini merupakan pondasi terwujudnya kehidupan yang
baik, inti dari kenikmatan jiwa, dan rahasia diperolehnya segala
kelezatan dan kegembiraan. Ketika hati menyadari dan mendeteksi hadirnya
tambahan nikmat, maka harapan terhadap karunia Allah pun semakin
bertambah dan menguat.”
Tatkala seorang hamba merasa senang, mengakui nikmat dari Allah dan
mensyukurinya, maka Allah tak ingin mencabut nikmat itu darinya.
Benarlah ungkapan para ulama bahwa asy-syukru qayyidun ni’am,
syukur adalah pengikat nikmat. Dengannya, nikmat-nikmat yang tersandang
menjadi langgeng dan lestari. Dan tak ada cara yang paling kuat untuk
mempertahankan nikmat selain dari syukur.
Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, “Sesungguhnya Allah menurunkan
nikmat atas hamba-Nya sesuai kehendak-Nya. Jika ia tidak mensyukurinya,
maka nikmat akan diganti dengan musibah. Karena itulah, syukur juga
disebut dengan al-haafizh (penjaga), karena ia bisa menjaga nikmat yang telah ada. Syukur disebut juga dengan al-jaalib (yang mendatangkan), karena ia bisa mendatangkan nikmat yang belum di depan mata.”
Syukur bertambah, Nikmat Melimpah
Nikmat itu hadir karena syukur. Lalu syukur itu akan mengundang
hadirnya tambahan nikmat. Tambahan nikmat akan terus diturunkan kepada
seorang hamba, dan tidak akan berhenti hingga hamba itu sendiri yang
menghentikan syukurnya kepada Allah. Begitulah kesimpulan cerdas dari
sahabat Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu.
Sesuai dengan kadar syukur seseorang, sebanyak itu pula tambahan
nikmat akan tercurah kepadanya. Tatkala menafsirkan firman Allah,
“dan Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.” (QS Ali Imran 145)
Ibnu Katsier rahimahullah berkata, “Maksudnya adalah Kami akan
menurunkan karunia dan rahmat Kami di dunia dan di akhirat sesuai dengan
kadar syukur dan amal perbuatannya.” Mereka akan mendapatkan karunia
tersebut, dan tak akan terkurangi sedikitpun. Ketika seorang mukmin
bersyukur dengan menjalankan ketaatan, maka Allah akan memberikan
balasan kepadanya sesuai dengan kadar syukurnya. Hal ini dikuatkan
dengan sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam,
إِنَّ اللَّهَ لاَ يَظْلِمُ مُؤْمِنًا حَسَنَةً يُعْطَى بِهَا فِى الدُّنْيَا وَيُجْزَى بِهَا فِى الآخِرَةِ
Sesungguhnya Allah tidak akan menzhalimi atas satu kebaikan seorang
mukmin, Allah akan memberikan imbalan di dunia, dan memberinya pahala di
akhirat.” (HR Muslim)
Namun hal ini tidak berarti bahwa setiap orang yang diberi kemudahan
dalam memperoleh harta, atau rejeki datang silih berganti itu selalu
diartikan sebagai tambahan karunia. Ada kalanya kemudahan melimpah itu
sebagai istidraj, Allah hendak membiarkan mereka bersenang-senang
sementara hingga nantinya akan disiksa secara tiba-tiba. Maka hendaknya
seorang mukmin segera mawas diri, apakah dia sedang berada dalam taat,
ataukah maksiat, sehingga bisa dibedakan, apakah kenikmatan itu berupa
karunia atukah istidraj. Nabi saw bersabda,
إِذَا رَأَيْتَ اللَّهَ يُعْطِى الْعَبْدَ مِنَ الدُّنْيَا عَلَى مَعَاصِيهِ مَا يُحِبُّ فَإِنَّمَا هُوَ اسْتِدْرَاجٌ
”Jika kamu mendapatkan Allah memberikan kemudahan dunia kepada
seorang hamba sementara ia bergelimang dengan maksiat sesukanya, maka
itu hanyalah istidraj.” (HR Ahmad)
Untuk merealisasikan syukur yang dengannya akan mengundang tambahan
karunia, hendaknya kita senantiasa mengingat, merenungi dan mencari-cari
kenikmatan yang sudah kita miliki. Dengan cara seperti itu, kita pun
akan merasakan nikmatnya karunia, untuk kemudian bersyukur kepada Dzat
yang telah memberikan karunia.
Inilah yang sering dilakukan oleh para ulama. Seperti Fudhail bin
Iyadh dan Sufyan bin Uyainah, keduanya duduk bersama di malam hari untuk
saling mengingatkan nikmat yang telah Allah anugerahkan kepada
keduanya. Sufyan mengatakan, ”Allah telah menganugerahkan kepada kita
ini dan itu, Dia telah menolong kita tatkala ini dan itu..” Begitupun
halnya dengan Fudhail.
Maka barangsiapa yang ingin diberi tamhahan nikmat, baik dalam hal
ilmu, harta, keharmonisan rumah tangga dan segala kemaslahatan yang
lain, maka hendaknya mengingat nikmat, lalu mensyukuri dengan lisan dan
menggunakan nikmat untuk ketaatan. Karena Allah tidak pernah ingkar
janji dengan firman-Nya,
Dan (ingatlah juga), takala Rabbmu mema’lumkan:”Sesungguhnya jika
kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu.” (QS
al-Maidah 7)
Sebagaimana Allah juga tidak akan mengingkari janji-Nya,
{مَّا يَفْعَلُ اللّهُ بِعَذَابِكُمْ إِن شَكَرْتُمْ وَآمَنتُمْ ( النساء :147(
“Mengapa Allah akan menyiksamu, jika kamu bersyukur dan beriman?” (QS an-Nisa’ 147)
Qatadah mengatakan, “yakni Allah tidak akan menyiksa orang yang
bersyukur dan beriman.” Allahumma a’inna ‘alaa dzikri-Ka wa syukri-Ka wa
husni ‘ibaadati-Ka, ya Allah bantulah kami untuk senantiasa berdzikir
kepada-Mu, bersyukur kepada-Mu dan memperbagus ibadahku kepada-Mu.
Amiin. (Abu Umar Abdillah)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar